Hermawan Susanto: Pahlawan Bayangan Olimpiade Barcelona 1992 - CNN Indonesia - Arenanews

Informasi Arena Olahraga

demo-image

Post Top Ad

demo-image

Hermawan Susanto: Pahlawan Bayangan Olimpiade Barcelona 1992 - CNN Indonesia

Share This
Responsive Ads Here

 

Hermawan Susanto: Pahlawan Bayangan Olimpiade Barcelona 1992

Jakarta, CNN Indonesia --

Beberapa bulan sebelum Olimpiade Barcelona 1992 dimulai, saya masih ada di urutan keenam di antara tunggal putra Indonesia. Di atas saya ada Ardy B. Wiranata, Alan Budi Kusuma, Joko Suprianto, Bambang Supriyanto, dan Fung Permadi.

Bila berbicara poin, Ardy dan Alan sudah aman di atas. Jadi tinggal sisa satu tiket lagi yang diperebutkan oleh kami berempat dan saya masih ada di urutan paling terakhir.

Urutan keenam di antara tunggal putra Indonesia, saat itu saya ada di posisi ranking sekitar 16. Untuk bisa meloloskan tiga wakil, ketiganya harus ada di delapan besar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat itu Pelatnas PBSI sedang persiapan untuk turnamen di Eropa. Belanda, Jerman, dan Denmark. Jadi pemain-pemain yang ada dibagi jatah berangkatnya. Ada yang Belanda dan Jerman, ada yang Jerman dan Denmark.

Saya tidak diberangkatkan oleh PBSI. Saat itu alasannya posisi saya sudah jauh, ada di urutan keenam. Jadi sudah tidak prospek ke Olimpiade. Namun saya masih diperbolehkan berangkat, asalkan dengan biaya sendiri.

Lalu saya bercerita hal ini ke Pak Justian Suhandinata, pemilik Tangkas, klub tempat saya bernaung.

Beberapa bulan jelang Olimpiade, Hermawan masih ada di urutan keenam di antara pemain tunggal putra Indonesia. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)

"Pak Justian, saya ingin ikut Olimpiade, tetapi harus pergi dengan biaya sendiri ke Belanda, Jerman, dan Denmark."

Pak Justian lalu menjawab: "Pergi, yang menanggung biaya Tangkas."

Saya pun akhirnya berangkat. Karena biaya sendiri, saya langsung ikut tiga turnamen tersebut. Sedangkan atlet lainnya berangkat dua turnamen.

Di tiga turnamen itulah saya bertarung. Di Belanda saya masuk final dan bertemu Poul Erik Hoyer Larsen. Sedangkan pemain-pemain lain kalah di babak awal.

Pindah ke Jerman, kembali saya masuk final. Lawannya lagi-lagi Poul Erik. Saya kembali jadi runner-up dan dapat tambahan poin lagi.

Tetapi dengan sistem saat itu, saya belum tahu update poin dan ranking terbaru saya. Lalu saya lanjut ke Denmark sedangkan Joko pulang ke Indonesia.

Denmark Open jelas ibarat kandang singa. Pemain Indonesia lain kembali kalah di babak awal dan saya lagi-lagi sukses masuk babak final serta berhadapan dengan Poul Erik.

Ternyata saya bisa menang di Denmark Open. Jadi tiga turnamen Eropa, saya berhasil tiga kali masuk final dan satu kali juara di Denmark.

Pulang ke Indonesia, saya belum tahu hitung-hitungan poin terbaru. Saya rasa saat itu Ardy dan Alan memang sudah tak bisa digoyahkan di dua teratas.

Proses update ranking saat itu, IBF mengirim faks ke PBSI. Lalu kemudian update ranking muncul di koran. Saya baca, saya duduk di nomor tujuh dunia.

Pemain yang awalnya digadang-gadang tidak berangkat malah duduk di posisi ketujuh. Joko ada di peringkat delapan sedangkan Bambang dan Fung Permadi sudah di luar 10 besar.

Kualifikasi Olimpiade saat itu belum selesai. Masih ada Kejuaraan Asia. Yang berangkat saat itu cuma Joko. Saya tidak diberangkatkan.

Memang Dewi Fortuna sepertinya ada di saya. Joko yang biasanya tidak pernah kalah lawan Rashid Sidek, kali ini kalah di babak perempat final. Namun hal tersebut tidak sepenuhnya menghilangkan rasa khawatir pada saya. Soalnya, Joko kan tetap dapat poin sedangkan saya tidak dapat poin.

hermawan-susanto-atlet-badminton-peraih-medali-perunggu-olimpiade-barcelona-1992-8_169Hermawan Susanto harap-harap cemas menunggu pengumuman lolos ke Barcelona 1992. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Tak lama kemudian, Piala Thomas 1992 digelar di Malaysia. Saat itu saya sudah susah makan, latihan terasa tidak enak. Karena tentu yang diidam-idamkan banyak pemain itu Olimpiade, apalagi itu pertama kali badminton dipertandingkan di Olimpiade.

Hari keempat Piala Thomas, saya dipanggil Pak Justian.

"Hermawan, gimana feeling kamu, yang masuk kamu atau Joko?"

"Seandaikata Joko yang masuk gimana?" tanya Pak Justian saat itu.

"Ya sudah saya tetap semangat." Itu yang saya bilang.

"Seandaikata kamu yang masuk gimana?"

"Saya pasti lebih semangat. Saya akan berlatih lebih semangat. Saya janji."

"Benar?"

"Benar Om." Begitu jawab saya.

Lalu Pak Justian yang saat itu juga punya kedudukan di IBF memberitahu bahwa ia sudah dapat informasi dari anggota IBF yang lain bahwa berdasarkan perhitungan poin, yang lolos kualifikasi Olimpiade adalah saya.

Jadi saat itu pengumuman resmi belum dirilis tetapi perhitungan baru saja selesai dilakukan. Saya hanya unggul sedikit atas Joko.

"Tetapi Her, kamu tidak boleh cerita-cerita. Biasa saja, ikut tim kembali. Latihan. Makan bersama," kata Pak Justian saat itu.

Mungkin hal itu perlu dilakukan agar tim tetap fokus ke Piala Thomas dan tidak terganggu Olimpiade. Setelah pulang dari Thomas Cup, ranking keluar. Indonesia resmi diwakili Ardy, Alan, dan Hermawan.

Saat itu walaupun persaingan ketat, hubungan di antara para pemain tetap baik karena memang kita menjalani hari-hari latihan dan pertandingan bersama-sama.

Berjuang di Barcelona 1992

Begitu kami menatap Olimpiade Barcelona 1992, tentu ingin mendapat emas. Namun melihat drawing yang ada, sepertinya terlihat tidak mungkin.

Saya satu jalur dengan unggulan pertama Zhao Jianhua. Ardy berada satu jalur dengan Poul Erik. Sedangkan Alan berada satu jalur dengan Wu Wenkai. Semuanya bisa berjumpa di babak perempat final.

Bila berbicara drawing Olimpiade Barcelona 1992, menurut saya saat itu drawingnya terhitung jelek bagi kami. Saya lawan Zhao Jianhua tidak pernah menang dalam tujuh laga yang kami mainkan saat itu.

Om Rudy Hartono dan Om Indra Gunawan pun mengakui bahwa poll hasil drawing terbilang berat.

Tibalah kemudian babak perempat final. Saya, Ardy, dan Alan bisa lolos ke babak itu. Saya main lebih dulu menghadapi unggulan pertama Zhao Jianhua. Saya main di lapangan tempat Sarwendah Kusumawardhani kalah dari Bang So Hyun.

Sarwendah kalah di babak delapan besar, lalu saya main di lapangan itu. Sempat ada pikiran, wah jangan-jangan nular kalah juga.

Sebenarnya saat lawan Zhao Jianhua, modal saya hanya semangat saja karena berpikir tahu bakal kalah. Namun ternyata di set pertama saya bisa menang mudah. 15-2. Saya menang mudah dan saya merasa lawan seperti meremehkan saya.

Masuk ke set kedua, saya bisa memimpin 14-7. Pendukung Indonesia sudah bersorak. Tinggal kurang satu poin, gampang kan harusnya.

Tetapi ternyata tidak. Saat itu masih sistem pindah bola. Saya pegang servis, tidak berhasil nambah poin. Dia pegang servis, berhasil tambah poin. Begitu terus sampai akhirnya kedudukan 14-14.

Dalam kedudukan 14-14, saya bimbang mau minta deuce tiga angka atau tetap lanjut hingga angka 15 saja. Saya berpikir bahwa daritadi untuk sekadar dapat satu angka saja susah sekali, apalagi harus menambah tiga angka.

Tetapi kalau memutuskan lanjut hanya sampai angka 15, itu artinya lawan mendapat match point dan kemenangannya ada di depan mata. Saya akhirnya meminta deuce tiga angka dan tetap saja saya digulung langsung. 14-17.

Masuk rubber set, penonton lemas semua. Pikiran saya juga kacau. Kaos basah, celana basah karena tidak bawa ganti. Karena saat itu saya berpikir bahwa saya melawan Zhao Jianhua yang tidak pernah bisa dikalahkan, kenapa harus bawa ganti.

Saya istirahat di luar arena dan kemudian Ricky Soebagdja datang. Saya ditanya oleh Ricky lalu saya jawab bahwa set pertama bisa menang sedangkan set kedua gagal menang padahal sudah 14-7. Ricky lalu sadar kondisi saya. Karena pakaian saya memang sudah benar-benar basah oleh keringat.

"Lu gak bawa celana? Ini celana gua, pakai saja," kata Ricky saat itu. Ricky dan Rexy saat itu sedang bersiap menghadapi Kim Dong Moon/Park Joo Bong.

Kaos saya masih basah, tetapi dengan celana yang sudah kering, saya merasa ada perbedaan walaupun celana dalam saya tetap basah.

3596808b-36e5-45f6-a645-bab14b69a17c_169Ricky Soebagdja (kiri) meminjamkan celana pada Hermawan Susanto di Barcelona 1992. (AFP PHOTO/TOSHIFUMI KITAMURA)

Masuk ke set ketiga, saya sudah tidak lagi memikirkan kesalahan di set kedua. Saya bisa memimpin lagi. 14-7 lagi. Penonton Indonesia kembali berdiri.

Dalam kondisi 14-7, saya kembali tidak tenang. Saya sudah berusaha rileks dengan mengulur waktu, berputar-putar. Tiap wasit meminta saya untuk langsung kembali ke posisi di lapangan, saya tidak langsung melakukanya.

Ternyata saya kembali berhasil dikejar. 14-14 lalu kemudian Zhao Jianhua bisa memimpin 16-14. Lawan dapat match point dan penonton sudah lemas.

Eh ternyata, lawan banyak salah sendiri. Saya berhasil mendapat servis dan mengejar jadi 16-16. Begitu saya servis, kok saya bisa dapat poin.

Pemain tipe kidal itu bolanya tajam, tetapi di sisi lain banyak joroknya (salahnya). Itu saya dapat poin dari sana. Begitu saya pegang servis, saya ragu-ragu. Mau kasih servis pendek, takut langsung disambar ke arah badan dan saya tidak siap. Mau servis tinggi, takut tanggung dan mudah dismes.

Akhirnya saya putuskan servis tinggi. Bola tidak sampai garis belakang. Lawan melompat, melakukan smes, eh ternyata nyangkut!

Wuedan! Selesai! Raket saya buang enggak tahu ke mana saat itu. Saya menang.

Di pool lain, Alan bisa mengalahkan Kim Hak Kyun dan lolos ke semifinal. Wu Wenkai yang diprediksi jadi lawan Alan sudah dijegal lebih dulu oleh Kim Hak Kyun. Sedangkan Ardy menang lawan Poul Erik.

Di babak semifinal, Indonesia punya tiga wakil. Satu pemain lainnya yang lolos ke semifinal adalah Thomas Stuer Lauridsen dari Denmark. Tim Indonesia tentu gembira namun tetap waspada karena jangan sampai malah wakil Denmark yang bisa jadi juara.

Laga semifinal mempertemukan Alan vs Lauridsen dan saya vs Ardy. Alan vs Lauridsen main sesi pagi sedangkan saya vs Ardy main sesi malam.

Begitu Alan menang, sudah lega Tim Indonesia. Saya dan Ardy pun kemudian makin bersemangat bertarung di sesi malam. Saya kalah, tetapi setelah lewat pertarungan sengit yang lebih dari satu jam. Ardy lolos ke babak final setelah berjuang mati-matian.

Setelah menang lawan saya, Ardy juga saat itu masih harus menjalani tes doping jadi dia tidak bisa langsung pulang ke kamar. Itu yang saya ingat. Jadi memang, dari segi kondisi, Alan jauh lebih bugar dari Ardy di babak final. Di pagi hari, saat Alan sudah mulai pemanasan, saya belum lihat Ardy.

Ardy memang menempuh jalan yang berat menuju ke final. Masuk final sudah luar biasa untuk Ardy dan di babak final itu kondisinya sudah tidak lagi 100 persen.

Saya sendiri bila ditanya puas atau tidak dengan medali perunggu Olimpiade, saya akan menjawabnya puas. Walaupun tentu saya berharap bisa meraih emas karena sudah mengalahkan unggulan pertama, saya tidak menyesali pencapaian saya.

Saya berpikir, bahwa dewi fortuna tidak ada di saya pada babak semifinal. Dewi fortuna saya ada di babak delapan besar, saat pukulan terakhir Zhao Jianhua yang nyangkut di net. Orang hoki itu cuma sekali, gak bisa berkali-kali.

Setelah pulang ke Indonesia, kami disambut dan ada parade. Saya merasa banyak juga yang menyadari perjuangan saya. Menyebut saya pembunuh raksasa dan sadar bahwa saya punya peran penting di balik keberhasilan Indonesia berprestasi di Barcelona. Karena kalau saya tidak mengalahkan Zhao Jianhua, belum tentu semua bisa terjadi.

Selain perunggu Olimpiade, saya juga punya medali perak Kejuaraan Dunia dan medali perak Piala Dunia. Saya bangga dengan pencapaian itu.

Saya rasa sudah cukup dengan pencapaian saya. Tuhan memberikan yang terbaik untuk saya.

Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>


Page 2

TESTIMONI

Hermawan Susanto | CNN Indonesia

Rabu, 06 Mar 2024 19:02 WIB

Saat kecil, saya bukan pemain bulutangkis padahal saya lahir dari keluarga yang sangat dekat dengan bulutangkis. Papa saya, Agus Susanto pernah main di Thomas Cup sedangkan mama saya, Megah Idawati juga pernah main di Uber Cup. Legenda Indonesia, Liem Swie King juga merupakan om saya.

Tetapi saat kecil, saya lebih suka main biliar. Saya bahkan sempat juara turnamen biliar se-Jawa Tengah.

Namun karena tumbuh di lingkungan bulutangkis, saya juga tetap ikut ke lapangan bulutangkis. Hanya ikut-ikutan papa saja yang latihan di PB Djarum.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya baru mulai latihan bulutangkis di umur 12, usia yang bisa dibilang terlambat untuk memulai sebenarnya. Karena itu saya bilang bulutangkis itu juga harus ada hokinya. Walaupun pemain itu bagus, kalau hokinya tidak ada, tetap tidak akan bisa.

Dari mulai berlatih secara serius, saya mulai bisa juara di berbagai level turnamen termasuk Munadi Cup. Saat usia 15 tahun saya sudah mulai bisa juara di kelompok remaja di Jawa Tengah sedangkan di level nasional, saya kalah dari Agus Dwi Santoso.

Saya akhirnya masuk Pelatnas PBSI pada usia 18 tahun ketika berhasil jadi juara Seleksi Nasional (Seleknas). Saya juara Seleknas setelah mengalahkan Alan Budi Kusuma di partai final.

Masuk Pelatnas PBSI, saat itu kami masih berlatih di Hall C Senayan. Kami masih junior dan masih ada pemain-pemain senior seperti Icuk Sugiarto, Lius Pongoh, dan om saya yaitu Liem Swie King. Karena lapangan terbatas, saya dan rekan-rekan yang satu angkatan baru bisa berlatih setelah pemain senior selesai berlatih, itu pun saya harus lebih dulu membereskan shuttlecock.

hermawan-susanto-atlet-badminton-peraih-medali-perunggu-olimpiade-barcelona-1992-7_169Hermawan Susanto masih aktif berkecimpung di dunia badminton selepas pensiun jadi atlet. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Di awal masuk Pelatnas PBSI dan melihat senior berlatih itu yang ada di pikiran saya adalah smes mereka kencang-kencang sekali. Melihat senior main itu bikin kami bengong.

Lalu masa keemasan generasi kami ada di tahun 1990-1994. Kami bisa bersaing dan berprestasi di level dunia dan turnamen bergengsi, termasuk Olimpiade dan Kejuaraan Dunia.

Dalam karier saya, saya lama berpacaran dengan Sarwendah Kusumawardhani. Kami pacaran 10 tahun lebih dan baru menikah di tahun 1995. Setelah menikah, kami memiliki anak semata wayang bernama Andrew Susanto. Ia juga berkarier sebagai pemain bulutangkis.

Selama pacaran, kami jarang bertengkar dan tidak pernah mengganggu fokus ke pertandingan. Bertengkar tentu ada, tetapi biasanya saat hari-hari latihan. Namun semua masalah yang ada itu bisa diselesaikan.

Kami justru lebih banyak saling membantu dan saling mengisi. Itu komitmen kami saat pacaran yaitu saling mendukung dan sama-sama cari uang bareng-bareng. Setelah pensiun, kini kami mengelola Sarwendah Badminton Club (SBC) yang berdiri sejak 2010.

Saya juga pernah mendapat tawaran dari Rusia sebagai pelatih kepala pada 2018. Waktu itu diberi tawaran gaji US$10 ribu alias sekitar Rp140 juta per bulan. Namun saya tolak tawaran itu karena ada orang tua yang harus saya jaga dan rawat di sini.

hermawan-susanto-atlet-badminton-peraih-medali-perunggu-olimpiade-barcelona-1992-3_169Hermawan Susanto pernah mendapat tawaran dari Rusia. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Di Sarwendah Badminton Club, ada sejumlah atlet yang saat ini masuk naungan beasiswa yang berarti menjadi tanggungan kami. Sponsor saat ini belum ada jadi memang untuk pemenuhan kebutuhan atlet beasiswa itu berasal dari kantong kami pribadi. Total atlet yang ada dalam binaan beasiswa kami sebanyak 8-9, dulu paling banyak ada 16-18 orang. Di luar itu, ada pula pemain-pemain yang berlatih privat.

Dengan kehadiran sejumlah pemain berstatus beasiswa, kami mengeluarkan kocek dari dana pribadi sekitar Rp200 juta setahun. Biaya itu termasuk kebutuhan sehari-hari dan juga pengiriman turnamen ke berbagai daerah.

Yang saya inginkan saat ini adalah Sarwendah Badminton Club bisa mempunyai atlet yang masuk pelatnas dan bisa mendunia.

(ptr)
Comment Using!!

Tidak ada komentar:

Opsi Arenanews

Siarenanews

Post Bottom Ad

Pages