Sepak Bola Indonesia,
Kisah Bagas Satria Penyitas Tragedi Kanjuruhan 2022, Masih Trauma Nonton Bola - Halaman all - Tribunlampung


TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, SURABAYA - Tak terasa sudah seribu hari berlalu sejak malam kelam 1 Oktober 2022 mengguncang dunia sepak bola Indonesia.
Tragedi Kanjuruhan merenggut 135 nyawa dan meninggalkan luka yang belum sembuh, baik bagi keluarga yang kehilangan maupun para penyintas yang masih mencoba berdiri tegak hari ini.
Salah satunya adalah Bagas Satria yang tinggal di Jalan Gatot Subroto, Sukoharjo, Klojen, Kota Malang.
Waktu seakan berjalan lambat bagi Bagas sejak malam itu, luka di kakinya perlahan membaik, tapi tidak demikian dengan ingatan yang terus menghantui.
“Alhamdulillah saya baik, tapi saya masih trauma ke Kanjuruhan. Kemarin sempat ada pertandingan di sana, teman ngajak nonton, saya tolak. Saya masih takut kejadian itu bisa terulang lagi. Meskipun stadion sudah direnovasi, tapi di mata saya tidak ada yang berubah. Bayangan itu tetap ada,” ujar pria berusia 21 tahun itu.
Terjebak di Gate 13, tergantung dalam kepanikan Seperti diketahui malam itu, ia berada di Tribune 13, salah satu titik paling mencekam.
Asap gas air mata menyelimuti udara, dan kekacauan menyapu semua sisi stadion.
Dan dalam sekejap, tribune yang awalnya penuh semangat berubah jadi lautan ketakutan.
Ia pun berusaha menyelamatkan diri, tapi nasib berkata lain. Sebab, saat itu gas air mata jatuh tepat di depan kakinya.
“Saya langsung naik ke atas. Tapi saat turun ke tangga Gate 13, semua berdesak-desakan. Saya jatuh. Tubuh saya terbalik, kepala di bawah, kaki di atas. Saya bergelantungan di tangga. Orang-orang panik, semua sibuk menyelamatkan diri. Saya cuma bisa teriak minta tolong,” tutur Bagas.
Dalam posisi yang mustahil untuk bergerak, ia nyaris kehilangan harapan.
Tapi kemudian, seorang Aremania melihatnya dan menariknya ke atas.
Tidak lama, seorang anggota TNI membantu mengevakuasi dan membawanya ke RS Wava Kepanjen.
Namun di sana, alih-alih ditangani cepat, ia justru dibiarkan tanpa perawatan.
“Saya kehilangan kesadaran karena sesak. Tapi sampai jam 4 pagi saya nggak ditangani. Akhirnya pulang. Keesokan harinya, orang tua saya melapor ke posko, saya dibawa ke RS Saiful Anwar untuk rontgen. Tapi itu pun tidak dirawat inap, cuma dikasih obat,” sambungnya.
Luka yang dialaminya tidak ringan.
Kaki kirinya patah di bagi"an betis, jempolnya mati rasa.
Kaki kanan luka robek dalam di area tulang kering.
Rasa sakitnya luar biasa, tapi ketakutan malam itu lebih besar dari nyeri yang ia rasakan.
Sepulang dari rumah sakit, ia hanya terbaring di kamar selama tiga bulan.
“Saya nggak bisa ke mana-mana. Baru bisa bangun pelan-pelan. Ibu, ayah, dan adik saya bantu. Latihan jalan pakai egrang satu. Dituntun terus, pelan-pelan dilepas. Ibu yang paling sering ngasih semangat, tiap hari,” ujar pria yang biasa disapa Bagas.
Pengobatan selanjutnya dilakukan di Sangkal Putung di Singosari.
Tidak dicover BPJS atau instansi manapun, tetapi dibantu secara pribadi wali kota yang saat itu dipegang Sutiaji dan Pak Lurah Sukoharjo.
Hanya cukup empat hingga lima hari terapi di sana, ia sudah bisa berjalan kembali.
Namun hingga kini masih merasakan efek luka itu.
“Kalau kecapekan, kaki saya sakit, clekit-clekit. Kalau pakai celana ketat, juga kerasa nyeri. Tapi kalau dingin sih enggak begitu,” imbuhnya.
Kini, ia sudah bisa beraktivitas normal. Bahkan sempat bekerja selama delapan bulan di Bali.
Namun bayang-bayang tragedi tidak benar-benar pergi.
Rasa takut, terutama saat melihat kerumunan atau stadion, masih sangat membekas.
“Saya tidak benci Arema, tidak. Cuma ya masih trauma. Teman saya juga ada yang meninggal waktu itu,” katanya.
Sang ibu, Susiati, merupakan sosok yang paling setia mendampingi Bagas Satria sejak awal kejadian.
Hingga saat ini ia belum sepenuhnya tenang dan menjadi jauh lebih protektif.
Setiap kali anaknya keluar rumah, terutama jika berkaitan dengan sepak bola, hatinya diliputi kekhawatiran.
“Saya dulu sudah bilang, ‘lapo gas ndelok (kenapa harus nonton)?’ Soalnya lawan Persebaya kan ramai. Waktu dikabarin, saya langsung ke rumah sakit Wava. Saya saking tegangnya sampai ngompol,” ujar ibu yang biasa disapa Susi itu.
“Sampai rumah sakit katanya luka ringan. Tapi anak saya merasa tulangnya patah. Akhirnya terapi sendiri ke Singosari. Waktu itu sempat dibantu Pak Walikota dan Pak Lurah. Tapi ya sama salah satu instansi saya jadi benci. Saya cuma berharap, jangan sampai kejadian kayak gini terulang. Cukup sudah,” pungkasnya.
(tribunnetwork)
0 Komentar