Skip to main content
728

Ibu Korban Tragedi Kanjuruhan, Masih Belum Sanggup untuk Kembali ke Stadion - Radar Malang

 Sepak Bola Indonesia,

Ibu Korban Tragedi Kanjuruhan, Masih Belum Sanggup untuk Kembali ke Stadion - Radar Malang

Rumah Kartini, 54, di Desa Gajahrejo, Kecamatan Gedangan dipenuhi para tetangga dan saudara yang sibuk memasak, kemarin (25/6). Mereka menyiapkan hidangan untuk tahlilan seribu harian Jefri Ikhlasul Amal, 24, putra dari Kartini. Jefri jadi satu dari 135 korban dalam tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022 lalu.

Jefri merupakan satu-satunya anak laki-laki di keluarga Kartini. Tiap pekan, ibu tiga anak itu tidak pernah absen ke makam putranya. Kehilangan anak secara tiba-tiba masih cukup membekas dalam memorinya. Kesedihannya bercampur dengan kekecewaan karena lemahnya pengusutan tragedi Kanjuruhan.

”Sejak putusan restitusi dibacakan, kekecewaan saya semakin mendalam,” kata Kartini. Dalam sidang di Surabaya itu, Kartini mendengar putusan hakim yang menganggap peristiwa itu bukan kesengajaan, namun bentuk kealpaan. Bagi dia, tidak masuk akal bila aparat yang memiliki akal pikiran melakukan kealpaan hingga mengorbankan ratusan nyawa.

Baru-baru ini, Kartini mengaku dihubungi pihak manajemen Arema FC untuk menerima sumbangan tiga persen tiket untuk keluarga korban. Dia enggan menanggapi. Sebab, dalam salah satu momen sidang di Surabaya, Kartini mengingat jelas dalih terlapor menganggap pemberian santunan itu sudah menggugurkan kewajiban.

”Mereka berdalih sudah sering memberi sumbangan kepada keluarga korban dan merasa tanggung jawabnya selesai di situ,” cerita Kartini dengan penuh amarah. Padahal, menurut ahli hukum, bantuan dan restitusi adalah dua hal yang berbeda. Sejak saat itu, Kartini menolak segala bantuan. Baik dari pemerintah, polisi, maupun manajemen Arema FC.

Sampai saat ini, Kartini tetap bergabung dalam Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK) Tragedi Kanjuruhan. Di sana lah dia ikut memperjuangkan keadilan bagi korban. Sebab, dia merasa bahwa hukuman yang diterima para tersangka tidak sebanding dengan ratusan nyawa yang hilang.

Di tempat lain, ada Eka Wulandari yang butuh waktu sekitar 1,5 tahun untuk menerima kepergian Iwan Junaedi atau Sam Nawi. Tidak hanya Eka, namun juga tiga buah hatinya dengan Sam Nawi. Tidak ada yang tahu persis kronologi meninggalnya Sam Nawi.

Sebab, saat pertandingan Arema FC melawan Persebaya itu, Sam Nawi berangkat bersama komunitas Curva Nord yang datang dari Tegal.

Dia seolah sudah mendapat firasat bakal terjadi kekacauan. Sehingga, lelaki berusia 45 tahun itu melarang Eka dan tiga anaknya untuk ikut. Padahal, biasanya mereka rutin menonton Arema FC bersama.

Kabar Sam Nawi meninggal menjadi pukulan berat bagi keluarga Eka.

Duka mendalam juga dirasakan komunitas Curva Nord. Mereka sampai vakum berkumpul dan menonton pertandingan tim kebanggaan selama hampir satu tahun.

Di tengah duka, Eka sempat ikut berjuang menuntut keadilan kepada pemerintah pusat. Dia membuat Laporan Model B. Namun akhirnya terhenti setelah polisi mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). ”Karena keluar SP3, saya akhirnya berhenti protes,” kata Eka.

Perlahan-lahan, dia belajar mengikhlaskan kepergian Sam Nawi. Eka tidak ingin menyimpan dendam dan melanjutkan hidup dengan baik. Hal itu pula yang terus ditekankan Eka kepada anak-anaknya. ”Kalau pas kangen boleh menangis, tapi jangan sampai terbawa emosi,” sambungnya.

Selain tetap mengenang, kegiatan kirim doa rutin dilakukan. Terutama saat momentum 40 hari, 100 hari, haul, hingga 1.000 hari yang berlangsung nanti malam. Di luar itu, keluarga rutin nyekar ke makam Sam Nawi yang berjarak dua kilometer dari rumahnya di Jalan Mawar I, Desa Watugede, Kecamatan Singosari.

Hari-harinya juga disibukkan dengan usaha pesanan kue dan tumpeng.

Usaha itu sudah dirintis Eka sejak Sam Nawi masih hidup. Kala itu, keduanya membuka usaha produksi stik bawang yang dijual ke toko-toko. Namun, sejak Sam Nawi meninggal, usaha stik bawang tak lagi berjalan.

Eka akhirnya mengembangkan usaha kue dan tumpeng. Selain usaha, Eka juga mendorong agar komunitas Curva Nord kembali berkegiatan. Sebab, sejak Tragedi Kanjuruhan dan Sam Nawi wafat, Curva Nord seperti kehilangan 'roh'-nya.

Padahal, Sam Nawi selalu menekankan agar Arema bersama suporter harus tetap hidup. Karena itu, Eka berupaya meneruskan perjuangan Sam Nawi. Belakangan, komunitas Curva Nord mulai aktif berkumpul. Misalnya saja untuk diskusi bersama. Ada pula yang meminta izin menonton pertandingan Arema FC lagi.

Kendati aktivitas Curva Nord mulai hidup, Eka belum sampai menonton Arema FC lagi seperti yang dilakukan beberapa anggota komunitas. Bahkan untuk sekadar bertandang ke Stadion Kanjuruhan, Eka dan anak-anak masih belum mampu.

Ada begitu banyak kenangan yang pernah dirasakan di setiap sudut stadion itu. Kenangan tersebut tercipta sejak Eka pertama kali diajak menonton Arema FC oleh Sam Nawi. Demikian pula dengan anak-anak yang sudah sering diajak menonton Arema FC. Baik saat bertanding di Stadion Kanjuruhan maupun away. ”Sebenarnya manajemen selalu mengundang kalau ada kegiatan. Tapi, untuk menonton atau datang ke stadion belum bisa,” kata dia. (aff/mel/by)

Posting Komentar

0 Komentar

728