Marak Bullying, Realisasi Permendikbudristek 46/2023 Dinilai Belum Maksimal
Jakarta, Beritasatu.com - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah mengatakan bahwa hingga saat ini pelaksanaan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan belum direalisasikan secara maksimal. Hal ini mengakibatkan praktik perundungan (bullying) masih terjadi dan kian memprihatinkan.
“Saya kira Kementerian (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Kemendikbudristek) harus jawab ini. Kami mengawasi, sampai detik ini piloting-nya belum terselenggara dengan maksimal,” kata Ai Maryati Solihah kepada Beritasatu.com, Selasa (3/10/2023).
Menurut Ai, dengan dibentuknya satuan tugas (satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan menunjukkan komitmen dan implementasi untuk mengatasi kasus perundungan.
“Satuan tugas PPKSP (pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan) ini menunjukkan komitmen dan implementasi. Dengan demikian, bukan hanya sebuah langkah-langkah yang diluncurkan dan implementasi atau deklarasi, tetapi harus ada realisasi konkret,” ujar Ai.
Dalam kesempatan terpisah, koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim menyebut ada empat poin utama yang bisa dilakukan untuk mencegah kasus bullying di Indonesia. Satriwan menyebut bahwa pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) sangat penting untuk dilakukan.
“Yang paling pokok adalah saya rasa guru-guru, warga sekolah, dan orang tua murid harus memahami ada Permendikbud ini. Yang mana Permendikbud tahun 2023 ini mewajibkan sekolah memiliki TPPK, ini saya pikir absolut ya,” kata Satriwan, Senin (2/10/2023).
Menurut Satriwan, evaluasi juga diperlukan untuk sekolah madrasah yang belakang juga diketahui adanya tindak perundungan. Ia menyebut banyak sekolah yang masih belum membentuk TPPK, hal ini seharusnya menjadi tanda bahaya.
"Sayangnya kan TPPK ini belum terbentuk di sekolah-sekolah kita. Bahkan di madrasah, beberapa kekerasan kan itu kemarin terjadi di madrasah. Justru sayangnya di madrasah itu mereka juga belum memiliki Permendikbudristek serupa,” jelas Satriwan.
“Jadi kita juga berharap dari Kementerian Agama mengeluarkan regulasi yang serupa atau setidaknya mengadopsi skema pencegahan kekerasan di sekolah, seperti yang dilakukan oleh Kemendikbudristek untuk sekolah-sekolah, karena di madrasah juga saya rasa penting karena kekerasan di madrasah juga tidak sedikit jumlahnya gitu,” ujarnya.
Selanjutnya, Satriwan mengatakan bahwa diperlukan adanya edukasi hukum untuk pelajar.
“Edukasi hukum bukan untuk menakut-nakuti anak, tetapi bahwa anak harus diberikan pendidikan hukum ketika dia melakukan tindakan kekerasan, ini bisa dikenakan hukum pidana,” jelasnya.
Dari posisi pelajar, Satriwan juga berharap agar siswa yang mengalami perundungan tidak takut untuk bersuara.
“Jika ada indikasi kekerasan ataupun bentuk kekerasan terhadap dirinya atau temannya itu, anak hendaknya mengadu kepada orang tua atau kepada wali kelas atau kepada tim pencegahan dan penanganan kekerasan,” jelas Satriwan.
Yang terakhir, Satriwan menyebut bahwa diperlukan adanya pembatasan terhadap akses media sosial pada waktu pembelajaran. Mengingat belakangan kasus perundungan juga terjadi saat kegiatan belajar mengajar.
Komentar