Leani Ratri Oktila: Tidak Menduga Dijuluki Ratu Badminton - CNN Indonesia

 

Leani Ratri Oktila: Tidak Menduga Dijuluki Ratu Badminton

CNN Indonesia
Kamis, 09/09/2021 12:50
Leani Ratri Oktila yang mempersembahkan dua emas dan satu perunggu di Paralimpiade 2020 tak pernah membayangkan mendapat julukan ratu badminton.
Leani Ratri Oktila meraih emas Paralimpiade Tokyo 2020. (AP/Kiichiro Sato)
Jakarta, CNN Indonesia --

Leani Ratri Oktila mencatatkan prestasi luar biasa usai berhasil mempersembahkan dua medali emas dan satu medali perak dari cabang badminton di Paralimpiade Tokyo 2020.

Ratri meraih dua emas usai memenangi nomor ganda putri kategori SL3-SU5 dan ganda campuran kategori SL3-SU5. Sedangkan medali perak diraih atlet kelahiran Desa Siabu, Bangkinang, Riau 6 Mei 1991 itu dari nomor tunggal putri kategori SL4.

Lebih dulu meraih gelar di ganda putri bersama Khalimatus Sadiyah, Ratri harus puas meraih perak di final tunggal putri. Ratri kemudian bangkit di partai penentuan juara ganda campuran saat berduet dengan Hary Susanto.

Pilihan Redaksi

Julukan Ratu Parabadminton disematkan untuk Ratri lewat deretan prestasi yang gemilang.

Seperti apa perjuangan Ratri berlatih badminton sejak kecil hingga mempersiapkan diri mengikuti Paralimpiade? Apakah Ratri masih akan berlaga di Paralimpiade selanjutnya?

Berikut wawancara eksklusif CNNIndonesia.com bersama peraih dua medali emas dan satu perak badminton di Paralimpiade Tokyo 2020, Leani Ratri Oktila:

Bisa diceritakan bagaimana masa kecil Anda dan kecelakaan yang membuat tangan dan kaki Anda patah?

Saya main badminton sejak kecil, saat saya masih 7 tahun. Orang tua saya, terutama papa, ingin sekali anaknya bisa berprestasi di bidang olahraga.

Kebetulan saya anak nomor 2 dari 10 bersaudara. Jadi ya mau tidak mau saya harus ikuti arahan dari orang tua untuk main badminton. Waktu masih SD itu saya sudah jadi juara di tingkat kecamatan sampai kabupaten.

Pebulu tangkis tunggal putri Indonesia Oktila Leani Ratri mengembakikan kok ke arah tunggal putri China Cheng Hefang pada babak final tunggal putri Asian Paragames 2017 di Istora, Jakarta (12/10). Hefang Chen menang dengan skor 19-21, 21-18, 21-13. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Leani Ratri Oktila sudah mengenal badminton sejak usia dini. (CNN Indonesia/Hesti Rika)

Di tahun 2011, saya mengalami kecelakaan motor di Bangkinang, Riau. Saya menabrak mobil waktu itu dan kaki serta tangan saya patah.

Dalam kondisi itu saya tidak dibawa ke dokter oleh orang tua saya, tapi di bawa ke alternatif. Yang mengobati Papa saya sendiri. Jadi tidak sempat dioperasi atau diobati dengan maksimal.

Hasilnya, kalau tangan mungkin tidak terlalu berbeda sebelum patah dan setelah patah. Tapi kaki saya, tiga bulan patah saya masih belum bisa apa-apa, masih belajar jalan pakai tongkat.

Di waktu masih pemulihan itu, di usia segitu masih bandel saya dulu, saya naik motor lagi diam-diam. Terus saya jatuh lagi, bukan ditabrak tapi saya jatuh sendiri dan kaki saya tertimpa motor di lokasi yang masih patah dan belum sembuh itu.

Setelah kecelakaan terjadi, bagaimana nasib Anda sebagai seorang atlet badminton?

Saya masih jadi atlet badminton. Tapi setelah kecelakaan kedua itu, orang tua malah tidak memperbolehkan saya main badminton lagi. Papa pernah bilang, "Ujung tombakku sudah patah, anakku tidak mungkin bisa main badminton lagi."

Papa cuma mau saya sembuh. Papa kasihan lihat saya waktu itu yang biasanya bisa pergi ke sana-sini keluar rumah, tapi ini cuma bisa di rumah saja.

Karena saya tidak kehilangan anggota tubuh, saya sebenarnya merasa biasa-biasa saja. Tapi memang saya masih harus pakai tongkat kalau mau jalan kemana-mana.

Bagaimana perjuangan Anda bisa masuk NPC dan tampil di berbagai event?

Sampai waktu itu Riau jadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) dan Pekan Olahraga Paralimpik Nasional (Peparnas) 2012. Saya ketemu teman-teman saya dan mereka bilang kangen melihat saya main badminton lagi.

Lalu saya ditawari main badminton di NPC Riau karena ada orang di sana yang mendengar ada atlet badminton Riau yang kecelakaan terus tidak main lagi. Saya sempat diminta ke Papa saya untuk main, tapi Papa saya bilang, "Anak saya sudah tidak main badminton lag."

Tapi waktu itu saya masih mau main, jadi saya latihan sembunyi-sembunyi dari Papa. Waktu saya mau main di Peparnas, saya bilang ke Papa mau ke kampus, padahal saya mampir ke gelanggang olahraga latihan di sana.

Pertama kali ke Gelanggang Olahraga itu saya kaget melihat kok ada orang pakai kursi roda main bulutangkis. Terus teman saya bilang kalau saya bisa jadi juara di sini.

Akhirnya saya bisa main di Peparnas waktu itu. Kebetulan saya bisa lolos ke final dapat satu emas dan satu perak. Waktu itu linesman sama wasitnya mengenali saya dan telepon ke adik saya bilang, "mbaknya main di sini" begitu.

Adik-adik saya datang ke lapangan terus mereka nangis-nangis bilang, "Kenapa mbak main di sini? Mbak kan enggak cacat." Mereka itu sedih karena yang main di Peparnas kan macam-macam dan menurut mereka saya tidak cacat.

Lalu saya pulang dan bawa medali ke rumah saya tunjukkan ke Papa, dia senyum. Dari situ Papa dukung saya main badminton sampai dipanggil pelatnas 2013 ke Solo.

Ajang multievent internasional pertama saya Asian Para Games 2014 di Incheon, Korea Selatan. Saya bawa pulang satu emas dan dua perak waktu itu.

Hal apa yang paling jadi kendala dalam latihan badminton setelah kecelakaan itu terjadi?

Tidak ada yang berbeda buat saya. Latihan yang saya lakukan sama saja. Tapi mungkin dari sisi pelatih yang susah karena mereka kan harus bisa menempatkan program sesuai dengan disabilitas masing-masing atletnya.

Kita sebagai atlet mau dikasih program apa sama pelatih, apapun pasti diselesaikan.

Leani Ratri Oktila of Indonesia competes in the badminton women's singles SL4 gold medal match against Hefang Cheng of China at the Tokyo 2020 Paralympic Games in Tokyo, Sunday, Sept. 5, 2021. (Joe Toth for OIS via AP)
Leani Ratri Oktila sudah menjadi andalan Indonesia di ajang internasional sejak 2014. (Joe Toth for OIS via AP)

Kabarnya dulu latihan pakai lapangan yang dibuat sama ayah dan kalau malam di terangi pakai lampu petromaks?

Papa bikin lapangan badminton di depan rumah. Kebetulan rumah saya adanya di pojok, luas banget.

Anaknya Papa saya ini perempuan semua, jadi tidak ada teman sparingnya kalau latihan. Karena itu, Papa pindahkan lapangannya ke depan musala, jadi banyak orang yang nonton, yang lihat, dan ikut main juga. Jadi mulai ramai lapangan itu dan punya teman sparring.

Rumah saya itu di pedalaman, masih banyak hutan. Kalau mau ke kota itu jauh sekali jaraknya sekitar 15 km. Saya cuma punya raket satu, kalau mau beli jauh karena harus ke kota.

Tapi karena saya bandel, saya suka gosok-gosok senar raket pakai batu supaya putus karena saya itu paling malas kalau disuruh Papa latihan. Jadi saya cari akal bagaimana supaya saya tidak bisa latihan. Di kondisi senar putus itu, Papa saya rela jauh-jauh ke kota buat betulin senar raket saya

Kalau petromaks, saya lupa tahun 2000-an itu listrik belum masuk ke kampung saya. Listrik baru masuk waktu saya sudah SMP.

Jadi kalau mau main badminton siang-siang kan panas, kalau sore banyak angin. Nah waktu yang pas itu malam hari buat main dan latihan. Tapi karena tidak ada lampu, penerangannya pakai petromak. Kalau bolanya terlalu tinggi kan tidak kelihatan, jadi nunggu dulu bolanya turun kelihatan baru bisa.

Tapi tetap saja waktu itu saya selalu berdoa semoga pas malam hujan, jadi kan saya tidak latihan, hahaha.

Banner Live Streaming MotoGP 2021

Seperti apa perjuangan Anda menjadi ratu badminton?

Tidak kebayang bisa dijuluki Ratu Badminton. Itu semua terjadi setelah 2018 di Dubai, terus dilanjut World Championship saya dapat medali emas di beberapa nomor.

Sejak itu, akun badminton [di media sosial] bilang kalau saya Ratu Badminton. Mungkin karena saya turun di beberapa nomor dan masuk final terus dapat medali makanya disebut begitu, saya juga tidak tahu.

Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya>>>

Merinding Mencetak Rekor Bersejarah


Leani Ratri Oktila yang mempersembahkan dua emas dan satu perunggu di Paralimpiade 2020 tak pernah membayangkan mendapat julukan ratu badminton.

Leani Ratri Oktila mengibarkan bendera merah putih bersam Hary Susanto. (AP/Kiichiro Sato)

Bagaimana Anda mengatur diri, mental, fisik untuk tampil di 3 nomor sekaligus di Paralimpiade?

Sebenarnya kalau latihan, saya lebih keras dari pertandingan. Tapi beban mentalnya yang beda. Selama pertandingan dari 2013 tapi di 2021 saya habis di fisik, mental semuanya.

Pertama beban target dan ke mental. Meskipun tidak pernah dibebankan, tetapi ada ambisi dalam diri yang ingin berprestasi juga kan.

Pilihan Redaksi

Padahal di latihan saya mengatur waktu dengan baik. Waktu mau Paralimpiade kemarin saya dikasih tahu bahwa jeda waktu saya dari pertandingan ke pertandingan cuma 20 menit. Buat saya tidak masalah.

Tapi kondisinya kemarin, sebelum final di tunggal putri dan ganda campuran malamnya saya tes doping sampai lewat tengah malam. Tes doping itu kan wajib, tidak mungkin saya bilang saya tidak mau karena besok pagi saya sudah harus main lagi.

Tes doping selesai jam 2 pagi, saya jam 6 sudah harus berangkat dari hotel ke tempat pertandingan karena jam 8 sudah harus main. Jadi fisioterapis saya malam itu juga tidak bisa maksimal, karena kalau maksimal saya akan lebih kurang lagi istirahatnya.

Leani Ratri Oktila of Indonesia competes in the badminton women's singles SL4 gold medal match against Hefang Cheng of China at the Tokyo 2020 Paralympic Games in Tokyo, Sunday, Sept. 5, 2021. (Joe Toth for OIS via AP)

Leani Ratri Oktila tampil di tiga nomor pada Paralimpiade 2020. (Joe Toth for OIS via AP)

Pertandingan pagi itu di tunggal putri, sudah habis saya itu rasanya. Terus saya telepon keluarga, mereka bilang ke saya tidak usah sedih. Padahal memang dalam hati, saya sudah bilang apapun hasilnya saya puas, apapun.

Saya mau saja mati-matian di tunggal putri biar bisa dapat medali emas, tapi pertimbangannya saya pasti akan habis waktu main di ganda campuran, saya tidak akan kuat.

Terus saya pikir lagi, pasangan saya Mas Hary (Susanto) itu sudah sangat perhatian sama saya. Dia sudah maksimal latihan, terus dia sudah tua juga kan usianya. Saya tidak mau kecewain dia, karena dia berharap banget sama saya, emas Paralimpiade ini kan mimpinya mas Hary juga.

Belum lagi istrinya mas Hary yang juga sangat baik sama saya. Jadi saya pikir banyak yang akan kecewa kalau hasil di ganda campuran tidak maksimal. Saya puas dengan hasil itu [perak di tunggal putri], saya sudah ngoyo tapi saya akui hanya segitu hasil yang bisa saya kasih.

Pada pertandingan final tunggal putri Anda terlihat begitu terpukul setelah kalah, tapi dalam tempo beberapa jam kemudian bisa bangkit lagi untuk main di final ganda campuran, apa yang membuat Anda bisa memulihkan fisik dan mental dalam waktu singkat?

Kalau dibilang terpukul, saya lebih terpukul waktu kalah di Asian Para Games 2018. Saat itu orang tua saya nonton, masyarakat Indonesia nonton teriakin nama saya.

Waktu itu saya akui saya kalah bukan karena permainan, tapi saya kalah di mental. Saya tidak bisa all out waktu itu jadi hasilnya tidak maksimal.

Tapi di Paralimpiade ini, saya cukup puas saya kalah bukan karena mental, tapi karena fisik saya tidak kuat. Pemain lain selesai pertandingan bisa pulang istirahat ke hotel, saya bisa seharian ada di lapangan dari satu pertandingan ke pertandingan lain.

Tapi satu yang bikin saya kuat setelah kalah di tunggal putri Paralimpiade kemarin, banyak yang kasih motivasi ke saya untuk bisa bangkit dan maksimal di ganda campuran.

Anda menargetkan tiga emas di Paralimpiade, tetapi di tunggal putri kalah dari Cheng Hefang. Apa ada pengaruh psikologis dalam pertemuan kemarin?

Head to head sama Hefang, saya kalah 2-5. Padahal, saya kalau ketemu Hefang dari postur jangkauan saya menang, pukulan power kuat saya. Kalau saya turun di satu nomor saya yakin saya bisa menang lawan dia.

Indonesia's Oktila Eani Ratri competes against China's Cheng Hefang during women's singles SU4 gold medal badminton match at the Tokyo 2020 Paralympic Games, Sunday, Sept. 5, 2021, in Tokyo, Japan. (AP Photo/Kiichiro Sato)

Leani Ratri Oktila sudah meraih emas di berbagai kejuaraan badminton dan ajang multicabang lain. (AP Photo/Kiichiro Sato)

Badminton untuk pertama kalinya masuk di Paralimpiade, dan Anda berhasil meraih 2 emas 1 perak, bagaimana rasanya?

Rasanya seperti mimpi, dari pertama dapat emas. "Tuhan ini ujung dari semua mimpi saya."

Latihan keras saya, saya hari minggu masih latihan. Dan perjuangan itu terwujud semua hasilnya. Rasanya plong, badan rasanya ringan banget. Apalagi pas saya ingat, target dari NPC itu satu medali emas.

Sampe sekarang lagi karantina, kan berjemur kalau pagi, ketemu Mas Hary dia sambil nepuk pundak saya masih bilang "Kaya mimpi ya, Rat". Istrinya Mas Hary juga bilang 'Terima kasih ya, Rat' itu rasanya kaya mimpi.

Anda atlet tersukses Indonesia dalam sejarah Paralimpiade, apa perasaan Anda saat tahu rekor bersejarah itu?

Pas dengar berita di media begitu, saya merinding. Saya bangga sama diri sendiri, akhirnya bisa jadi sejarah untuk Indonesia. Ketika saya tidak main lagi mereka kenal saya jadi legenda para badminton.

Prestasi gemilang, apresiasi dari pemerintah, apa Anda penasaran dengan jumlah bonus yang sekarang masih rahasia?

Penasaran pasti. Tapi sudah disampaikan Pak Menteri [Menpora Zainudin Amali], minimal sama dengan yang Olimpiade kemarin.

Pak Menteri bilang pas kita live kemarin di salah satu stasiun TV, "Saya sudah sampaikan, dipastikan minimal sama, tapi bisa jadi lebih."

Penasaran tapi ya bisa dikira-kira lah, hehehe.

Sudah Ada rencana bonus mau digunakan untuk apa? Kabarnya mau buat GOR Badminton?

Tidak pernah terbayang dapat uang banyak. Di Asian Para Games, saya dapat bonuns Rp2,7 miliar saja sudah banyak, sudah bisa bantu orang di sekitar, bisa bantu keluarga, banyak yang bisa saya kerjakan. Apalagi ini, berlipat-lipat dari yang saya dapat kemarin.

Belum ada bayangan bonus itu mau dibuat apa. Pengennya, buat GOR Badminton untuk disabilitas. Karena teman-teman yang pakai kursi roda itu susah kalau mau main badminton. Jarang ada GOR yang fasilitasnya bisa untuk disbilitas.

Pengennya bangun di Solo, karena pelatnas kan di Solo. Itu keinginan sudah lama banget sebenarnya. Setelah saya suka ikut tarkam-tarkam, main sama teman-teman yang kursi roda mereka tidak boleh main sama yang punya lapangan karena takut rusak lapangannya.

Indonesia’s Oktila Leani Ratri, left, and Sadiyah Khalimatus pose with the gold medal during the awarding ceremony of Badminton women’s doubles SL3-SU5 category at the Tokyo 2020 Paralympic Games, Saturday, Sept. 4, 2021, in Tokyo, Japan. (Yohei Nishimura/Kyodo News via AP)

Leani Ratri Oktila bersama Khalimatus Sadiyah di podium tertinggi ganda putri Paralimpiade 2020. (AP/Yohei Nishimura)

Beberapa waktu lalu Anda sempat bilang mau menikmati kemenangan dulu, ada rencana pensiun dalam waktu dekat?

Saya pernah ditanya kapan pensiun. Kan juara dunia sudah, semua sudah saya dapat. Saya bilang saya cuma mau jadi juara di Paralimpiade.

Saya bilang, "Sebelum dapat emas di Paralimpiade saya akan main terus."

Tapi sekarang saya sudah dapat emas di Paralimpiade, saya belum mau pensiun. Saya hanya mau menikmati waktu sama keluarga dulu. Saya juga mau jadi orang normal, memikirkan kehidupan keluarga, menenangkan diri sama keluarga, terus membangun keluarga.

Tapi bukan berarti saya tidak main lagi. Saya pasti akan main lagi. Orang-orang yang dekat sama saya pasti tahu, saya tidak tahan kalau lama-lama tidak main badminton.

Selagi saya mampu main badminton, saya bisa jadi pelatih. Jadi belum ada rencana pensiun dari badminton.

Ada rencana apa ke depan untuk karier Anda selanjutnya?

Saya masih pengen menempuh pendidikan. Kemarin Rektor UNS bilang, yang meraih medali di Paralimpiade, bisa dapat beasiswa sampai S-3. Sekarang saya sudah S-2 jadi bisa lanjut.

Saya S-1 olahraga, S-2 saya Bahasa Indonesia. Rencananya, saya mau ngulang di S-2 ambil olahraga biar linier sama S-1 dan S-3 bisa ambil olahraga juga.

(TTF/nva)


Baca Juga

Komentar

Informasi Olahraga Terbaru - Google Berita