PSTI: 2025 Tahun Paling Menyedihkan bagi Sepak Bola Indonesia, Bebih Baik Erick Thohir Mundur - Konteks
KONTEKS.CO.ID – Paguyuban Suporter Timnas Indonesia (PSTI) menyebut, tahun 2025 menjadi salah satu babak paling kelam dalam sejarah sepak bola nasional.
Kegagalan demi kegagalan dialami Tim Nasional Indonesia di berbagai level usia.
Hal itu tak hanya mengecewakan suporter, tetapi juga membuka mata publik terhadap kegagalan sistemik tata kelola sepak bola Indonesia di bawah PSSI.
Baca Juga:
Ketua Umum PSTI, Ignatius Indro menegaskan, 2025 adalah tahun yang menyedihkan sekaligus memalukan bagi sepak bola nasional.
"Gagal lolos ke Piala Dunia 2026, Timnas U-23 gagal ke Piala Asia, dan kembali gagal di SEA Games 2025. Ini bukan kebetulan. Ini adalah akumulasi kegagalan struktural dan kepemimpinan PSSI yang tidak pernah serius membangun sepak bola Indonesia,” tutur Ignatius Indro dalam keterangan tertulis yang diterima Konteks, Jumat 19 Desember 2025.
Indro menilai, suporter tidak bisa terus-menerus dijadikan sasaran pelampiasan emosi, sementara akar masalah justru dibiarkan.
Dia lantas menekankan, para pemain dan pelatih menjadi korban dari kebijakan PSSI yang tidak memiliki arah jangka panjang.
"Kita terlalu sering mengganti pelatih, memaksakan target instan, tetapi tidak pernah punya roadmap sepak bola nasional yang jelas," tegasnya.
Baca Juga:
"Pembinaan usia muda jalan di tempat, liga tidak kunjung sehat, dan kompetisi tidak menjadi fondasi tim nasional,” imbuhnya.
Kegagalan Timnas U-23 di SEA Games 2025, lanjut Indro, menjadi simbol rapuhnya sistem pembinaan. Sebab, ajang tersebut seharusnya menjadi panggung regenerasi dan masa depan timnas senior.
PSTI juga menyoroti kepemimpinan Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, yang dinilai lebih menonjolkan pencitraan politik dibandingkan membangun fondasi sepak bola nasional secara serius.
“PSSI hari ini lebih terlihat sebagai panggung politik pribadi. Sepak bola dijadikan alat pencitraan, bukan ruang pembenahan," katanya.

"Tidak ada roadmap sepak bola yang transparan, terukur, dan bisa diaudit publik, untuk itu lebih baik Erick Thohir mundur dan evaluasi total, termasuk statuta yang ada, yang menutup kesempatan orang-orang yang memiliki integritas dan mencintai sepak bola masuk ke dalam federasi,” sambungnya.
Baca Juga:
Indro juga menilai, sejumlah aktivitas seremonial, kunjungan, dan narasi optimisme yang disampaikan ke publik tidak sejalan dengan hasil di lapangan.
"Kalau semua hanya soal pencitraan, maka hasilnya adalah kegagalan seperti yang kita alami sepanjang 2025. Sepak bola tidak bisa dibangun dengan slogan dan kamera,” ujarnya.
Indro menegaskan, suporter bukan musuh PSSI, melainkan mitra kritis yang ingin sepak bola nasional maju secara berkelanjutan.
Meski demikian, kesabaran publik tidak bisa terus diuji tanpa adanya perubahan nyata.
"Kami tidak menuntut juara dunia dalam semalam. Yang kami tuntut adalah kejujuran, arah yang jelas, dan komitmen membangun sepak bola dari bawah," katanya.
Baca Juga:
"Jika itu tidak bisa dilakukan, maka sudah seharusnya ada evaluasi total di tubuh PSSI,” lanjut Indro.
Menutup refleksi akhir tahun 2025, PSTI berharap 2026 menjadi momentum perubahan mendasar, bukan sekadar pergantian target atau narasi baru.
“Sepak bola Indonesia harus dikembalikan ke marwahnya: olahraga rakyat, bukan alat politik. Tanpa roadmap yang jelas, tanpa reformasi liga dan pembinaan usia muda, kita hanya akan mengulang kegagalan yang sama,” pungkasnya.***