Kegagalan Timnas ke Piala Dunia 2026 dan Kisah Bodoh Penambang Emas - Kompas
Kegagalan Timnas ke Piala Dunia 2026 dan Kisah Bodoh Penambang Emas

KEGAGALAN timnas Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026 membuktikan empat hal. Pertama adalah level teknis skuat Garuda.
Mesti diakui kelas timnas Indonesia belum masuk tier utama Asia. Kelas Indonesia masih di tier dua Asia.
Secara kualitas, timnas berada di level sama dengan Oman, Jordania, Irak, UEA, atau Bahrain. Kualitas kita masih di bawah Jepang, Australia, Korsel, Arab Saudi, Uzbekistan, dan Iran.
Hal kedua di balik kegagalan timnas adalah soal kematangan tim. Harus diakui skuat ini belum matang. Sedikitnya waktu bermain bersama membuat timnas Indonesia belum padu.
Banyaknya pemain baru yang masuk di setiap fase kualifikasi pasti membutuhkan waktu untuk menyatu.
Tak hanya pemain, di sisi pelatih pun sama. Patrick Kluivert tampak belum matang dari sisi leadership maupun taktik.
Penunjukannya sebagai pelatih darurat nyatanya memang hanya sekadar menyelamatkan atmosfer kamar ganti yang sempat terbelah akibat persoalan komunikasi Shin Tae Yong.
Selain kematangan, kegagalan timnas juga membuktikan jam terbang. Meski mayoritas skuat Garuda bermain di Eropa, tapi mayoritas mereka adalah debutan ke pentas antarnegara.
Sehingga secara mentalitas, levelnya masih di tergolong mental pendatang baru (rookie).
Walhasil wajar pula jika terjadi kesalahan khas rookie (alias rookie mistake). Ini terutama pada jajaran pelatih yang kerap bereksperimen di momen krusial.
Hal keempat di balik kegagalan skuat Garuda membuktikan bahwa kita memang belum siap secara umum. Tidak hanya pemain, pelatih, tapi juga pendukung.
Simak saja reaksi setiap timnas kalah, pemain di-bully di luar batas. Sebaliknya di media terjadi pembelahan besar antara pendukung klub.
Sentimen klub nyatanya melebar ke timnas. Ini seperti pendukung klub yang satu mem-bully pemain asal klub rivalnya yang bermain kurang baik di timnas.
Di sisi lain, pendukung merespons kegagalan ke Piala Dunia 2028 seperti kiamat. Reaksi kita gagal lolos ke Piala Dunia layaknya pendukung Italia merespons apabila Azzurri gagal ke Piala Dunia.
Pertanyaannya memang sejak kapan Indonesia pernah melangkah sejauh ini? Sehingga tak masuk akal mengartikan kegagalan ini sebagai aib, maka seluruh pengurus PSSI diminta mundur.
Perjalanan timnas ibarat kisah yang diungkap dalam buku Think and Grow Rich karya Napoleon Hill.
Dalam buku itu dikisahkan seorang penambang emas di Colorado Amerika, R.U. Darby. Sang penambang pada bulan awal usahanya berhasil mendapati sinar urat bijih emas yang berkilau. Darby yakin tinggal selangkah lagi emas diraih dan mereka kaya raya.
Namun, harapan yang meroket itu meluntur seiring dengan penggalian yang semakin dalam. Kilau itu perlahan menghilang dari pandangan.
Sang penggali akhirnya frustasi dan memilih berhenti. Seluruh alat dan akses terhadap penggalian dijual dengan harga yang sangat murah ke pedagang besi tua.
Si pedagang besi yang bijak akhirnya memilih menyewa ahli tambang untuk menganalisis lubang tersebut.
Nyatanya dari hasil analisis diketahui bahwa emas sesungguhnya hanya berjarak tiga jengkal (90 centimeter) dari penggalian Darby. Ya akibat pola jump to conclusion membuat seluruh usaha keras Darby jadi sia-sia.
Kisah ini perlu dijadikan pelajaran bagi seluruh pecinta timnas. Pelajaran bahwa setiap target besar tak hanya membutuhkan usaha yang besar, melainkan kesabaran serta persistensi yang besar pula.
Menilai kegagalan timnas melaju ke Piala Dunia 2026 sebagai akhir dari segalanya adalah kebodohan layaknya si penambang emas. Ingat, kita layaknya Darby tinggal hitungan jengkal lolos dari sebelumnya tak memiliki apa-apa.
Hasil di kualifikasi Piala Dunia 2026 ini mestinya jadi titik tolak awal, bukan akhir. Titik tolak untuk semakin memadukan, mematangkan, serta meningkatkan level kualitas timnas.
Ada kemajuan kecil di luar hasil yang dipetik timnas. Kini kita bisa memaksa Arab Saudi bertahan habis di kandang mereka sendiri. Kita pun berhasil tampil begitu dominan selama 90 menit melawan Irak.
Mesti detail kecil pula yang menyebabkan kita kalah, tapi hal itu jangan membuat kita meruntuhkan segala pondasi yang sudah dibangun. Kesalahan detail mesti diperbaiki lewat perbaikan mendetail pula. Perbaikan yang mikro, bukan justru makro.
Ingat kita gagal lolos secara sengit ke Piala Dunia. Kita bukan lagi dibantai dalam dua leg melawan Vietnam atau Thailand di final Piala AFF.
Meminjam teori James Clear dalam bukunya Atomic Habits, kita mesti memandang hasil timnas di round 4 ini sebagai bagian dari kemajuan kecil.
Kini tinggal pada PSSI, staf pelatih, pemain, maupun pendukung untuk terus melakukan sentuhan-sentuhan perbaikan positif yang meski kecil, tapi terus dilakukan. Sebab kesuksesan itu sejatinya terletak bukan pada hasil semata, tapi sistem yang menopangnya.
Evaluasi memang mutlak. Namun, bukan evaluasi dengan kaca mata kuda. Evaluasi rasional dengan parameter data, bukan emosi semata.
Perbaiki yang kurang dan pertahankan yang sudah positif. Layaknya teori Clear, menciptakan kebiasaan baik dan menghentikan kebiasaan buruk.
Dari sisi evaluasi timnas, kebiasaan baik yang dibentuk PSSI lewat pembentukan Direktur Teknik Sepak Bola patut didukung.
Kini ada Direktur Teknik Alexander Zwiers yang bisa lebih holistik dalam mengevaluasi soal kepelatihan timnas untuk target jangka pendek, mengengah, dan panjang.
Biarkan dan dukung Zwiers bekerja mengevaluasi Kluivert cs. Jika pun jajaran pelatih diganti tentunya kini lebih sesuai dengan parameter teknis yang dibutuhkan sepak bola Indonesia kedepan.
Layaknya seorang penjual besi tua yang memilih mendengarkan saran ahli tambang, begitupun PSSI dengan direktur tekniknya.
Perbaikan positif kecil, tapi konsisten inilah yang bisa membawa sepak bola Indonesia ke arah yang semakin baik.
Jangan kembali ke setelan pabrik sepak bola Indonesia yang kerap terjebak pada spiral kesalahan yang sama. Ibarat sakit kepala, tapi solusinya malah amputasi kaki!
Masalah kualitas talent pool pemain yang belum merata, maka solusinya adalah terus memperbaiki liga. Perbaikan yang tak sederhana, membutuhkan dana plus waktu.
Prestasi memang bukan tercipta dari proses transformasi sekali jadi, melainkan lewat rutinitas kecil, tapi konsisten! Sebaliknya, kegagalan terjadi akibat kesalahan yang terus berulang.
Layaknya prinsip yang diucapkan James Clear lewat bukunya Atomic Habits, "The first mistake is never the one that ruins you. It is the spiral of repeated mistakes that follows. Missing once is an accident. Missing twice is the start of a new habit. (Kesalahan pertama bukanlah yang menghancurkanmu. Itu adalah spiral kesalahan berulang yang mengikutinya. Meleset sekali adalah sebuah kecelakaan. Meleset dua kali adalah awal dari sebuah kebiasaan baru).”