Sepak bola Indonesia,
Peringatan 1.000 Hari Tragedi Kanjuruhan Siapkan Aksi di Depan Mabes Polri - Radar Malang


Momentum 1.000 hari tragedi Kanjuruhan bukan sekadar peringatan. Ada yang terus mencoba mengikhlaskan. Ada pula yang akhirnya mengerti bahwa perjuangan membutuhkan keteguhan. Doa untuk semua korban.
MENOLAK LUPA: Jawa Pos Radar Malang edisi 2 Oktober 2022 menyoroti penyebab kekacauan dalam tragedi Kanjuruhan.
Rizal Putra Pratama, 24, warga Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang memilih bertolak ke Jakarta untuk memperingati 1.000 hari tragedi Kanjuruhan. Kemarin (25/6), salah satu korban selamat itu sudah tiba di sana. Dia akan ambil bagian dalam beberapa aksi memperjuangkan keadilan. Semangatnya selalu ada untuk almarhum ayah dan adik pertamanya.

SAKSI BISU: Potret Stadion Kanjuruhan sebelum direnovasi pada 2022 lalu.
Rizal sekaligus mewakili Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK).
Hari ini (26/6), dia bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) akan mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Tujuannya untuk mencari kejelasan apakah tragedi Kanjuruhan sudah ditetapkan sebagai pelanggaran HAM atau tidak.

PANTANG MENYERAH: Rizal Putra Pratama (kiri) setelah melakukan konsolidasi dan rapat untuk acara peringatan 1.000 hari tragedi Kanjuruhan di Jakarta Selatan, kemarin (25/6).
Sebab selama tiga tahun terakhir, mereka merasa belum ada kejelasan terkait penanganan tragedi Kanjuruhan. ”Sorenya kami melakukan aksi Kamisan di depan Istana Negara,” ujar lelaki tiga bersaudara itu. Pada malam hari, Rizal bersama keluarga korban lainnya, suporter Arema, dan anggota aksi Kamisan bertolak ke depan Mabes Polri.
Di sana mereka bakal berdoa bersama dan menyalakan seribu lilin. Sekaligus, mendeklarasikan pernyataan sikap keluarga korban yang ingin tragedi kelam itu diusut secara tuntas. Rizal juga masih menunggu surat persetujuan untuk dialog dengan Komisi III DPR RI. Mereka berencana meminta pengawalan untuk laporan model B yang tidak ada perkembangan hingga saat ini. Keluarga korban hanya ingin oknum yang melempar gas air mata ke tribun penonton dan pimpinan yang memberikan instruksi dihukum juga.
Pemuda asal Tumpang itu merupakan penyintas tragedi Kanjuruhan. Meskipun fisiknya tidak terluka, trauma batin melihat kekacauan tragedi Kanjuruhan terus ada dalam ingatannya. Terlebih, dalam peristiwa tersebut, dia kehilangan ayahnya yang bernama Mohammad Arifin, 45, dan adik pertamanya Mohammad Rifki Aditya Arifianto, 13.
Saat kejadian, Rizal berada di tribun dekat Gate 11 Stadion Kanjuruhan. Dia bersama ayah, adik pertama, dan keponakannya. Kekacauan akibat gas air mata menyebabkan Rizal terpisah dari keluarganya. Akhirnya Rizal berhasil keluar lewat Gate 10. Dia merasakan kesakitan yang luar biasa di tenggorokan, dada, dan matanya. ”Rasanya seperti disilet-silet,” cerita dia.
Saat mencari ayah dan adiknya, Rizal diberi tahu tetangganya bahwa mereka berada di rumah sakit. Keesokan harinya, dia mendapati ayah dan adiknya sudah meninggal dunia. Dari situ, Rizal bertekad untuk terus memperjuangkan keadilan bagi korban tragedi Kanjuruhan hingga titik darah penghabisan.
Kini Rizal hanya tinggal berdua bersama ibunya. Sebab adik terakhirnya bernama Cahaya Meida Salsabila, 11, turut berpulang 28 hari setelah ayahnya wafat. ”Sepertinya dia kangen Ayah, jadi memilih menyusul,” pungkas Rizal.

TERUS DIDAMPINGI IBU: Dian Puspita Sari, 25, warga Kecamatan Blimbing memperlihatkan foto rontgen yang menunjukkan patahan tulang kakinya.
Di tempat lain, ada Dian Puspita Sari, 25, warga Kelurahan Purwodadi, Kecamatan Blimbing, Kota Malang yang kondisinya semakin membaik. Dia tak lagi menggunakan kursi roda seperti sebelumnya. Namun menurut orang tuanya, Dian masih mengalami penurunan daya ingat. Dia juga jadi pribadi yang lebih pendiam.
Penurunan daya ingat yang dialami Dian membuatnya lupa dengan aktivitas yang sebelumnya dilakukan. Karena itu, keluarga harus terus melatih daya ingatnya. Caranya dengan rutin menanyakan aktivitas Dian setiap hari.
Dian juga tak lagi aktif bekerja seperti sebelum tragedi Kanjuruhan. Padahal, sebelumnya Dian bekerja sebagai operator produksi di sebuah perusahaan rokok elektrik di Kota Malang. Namun akibat tragedi tersebut, perusahaan memintanya berhenti sementara waktu sampai kondisinya benar-benar pulih.
Etik Karyati, ibunda Dian juga tidak menyangka putrinya turut menjadi korban dalam tragedi kelam itu. ”Aslinya juga tidak fanatik. Ya saat itu hanya ikut teman-temannya menonton,” kata dia. Dari cerita yang disampaikan rekan-rekan Dian, pada saat kejadian mereka berangkat sekitar pukul 16.00.
Kemudian sampai pukul 02.00 pagi, keluarga tak kunjung mendapat kabar. Baru sekitar pukul 02.30, keluarga mendapat kabar kalau Dian menjadi korban. Dian sampai dibawa ke RS Wava Husada, lalu dirujuk ke RSUD dr Saiful Anwar (RSSA) untuk mendapat perawatan.
Dian mengalami beberapa kondisi seperti luka di kepala dan kaki kanan yang patah. ”Semua temannya tidak ada yang tahu kronologi Dian bisa menjadi korban. Namun saat kejadian, Dian mendadak terpisah dari teman-temannya,” cerita Etik. Setelah terpisah, rekan-rekan Dian berupaya mencari.
Dian ditemukan tak sadar di dekat para penonton yang sudah meninggal.
Di RSSA, dia mendapat perawatan di UGD. Dian sempat koma selama tujuh hari di RSSA. Selanjutnya, Dian masih harus mendapat perawatan selama 25 hari, terapi, dan trauma healing.
Meski sudah mendapat tindakan medis, Dian sempat mengalami trauma selama seminggu. Trauma tersebut berupa takut di kegelapan dan sendirian. Pihak keluarga terus berupaya memulihkan traumanya. ”Kondisinya membaik, tapi dia jadi grogi kalau di keramaian. Pernah saya bawa lihat bantengan, tangannya langsung dingin,” ungkap Etik.
Keluarganya juga masih memiliki PR lain. Yakni menumbuhkan rasa percaya diri Dian yang memudar. Keluarga sebenarnya sudah mendorongnya untuk bekerja dan bersosialisasi lagi. Namun Dian seperti masih enggan. Alhasil, anak sulung dari dua bersaudara itu kini hanya membantu ibunya berjualan bubur di rumah.
”Pernah ikut pelatihan kerja melipat kardus, tapi hanya seminggu, lalu tidak ada tindak lanjut,” cerita Etik. Kendati demikian, keluarga tetap sabar menuntun Dian agar kembali seperti sedia kala. Keluarga ingin agar Dian memiliki semangat lagi seperti dulu, dan kembali beraktivitas atas dorongan dalam dirinya sendiri. (mel/aff/by)
0 Komentar