Susy Susanti: Kevin/Marcus Trauma Kejuaraan Dunia - CNN Indonesia
Susy Susanti: Kevin/Marcus Trauma Kejuaraan Dunia - CNN Indonesia

Susy Susanti merupakan Kabid Binpres PBSI. Berikut wawancara CNNIndonesia.com dengan Susy Susanti terkait prestasi badminton Indonesia empat tahun terakhir.
Sebagai pemain Susy Susanti adalah legenda. Saat ini Susy Susanti masih menjabat sebagai Kabid Binpres PBSI 2016-2020. Bagaimana pandangan Susy terhadap prestasi badminton Indonesia, berikut wawancara CNNIndonesia.com dengan Susy:
1. Bagaimana Anda akhirnya menyetujui jadi Kabid Binpres setelah selalu menolak masuk struktur organisasi PBSI?
Waktu zaman Pak Gita Wirjawan, saya memang diminta jadi Kabid Binpres, namun karena kesibukan saya, anak saya masih kecil, ketiga-ketiganya masih di Indonesia, otomatis saya menolak.
Karena keterbatasan saya saat itu, saya menolak. Saya tak mau bila kerja hanya setengah-setengah. Bila saya terima suatu tugas, saya harus total. Saya tak mau asal janji.
Saat zaman Pak Gita, akhirnya saya hanya menjadi staf ahli PBSI.
Pada saat Pak Wiranto terpilih, saya diminta jadi Kabid Binpres, akhirnya saya bilang 'Oke Pak'. Saat itu dua anak saya sudah sekolah di luar negeri. Anak yang paling kecil pun sudah masuk SMA. Jadi sudah bisa ditinggal.

Saya punya prinsip bila menerima tugas harus total, kalau tidak bisa total, lebih baik tidak. Sebelumnya saya menilai keluarga harus didahulukan karena masa anak-anak tidak mungkin terulang. Saya menikmati kesibukan saya mengurus dan melihat perkembangan anak.
2. Apa kesan Anda pertama kali saat duduk sebagai Kabid Binpres?
Saya selalu melihat dari sisi positif, jadi hal baik dari kepengurusan sebelumnya dilanjutkan. Bila ada yang kurang dibenahi. Mungkin contohnya pembagian tugas, koordinasi, penanganan atlet, program latihan. Bagi saya, kerja sama harus baik.
3. Apakah tidak takut jabatan Kabid Binpres mencoreng nama besar Susy Susanti saat itu?
Saya tidak takut soal nama besar. Kalau kerja saya bisa total, apapun hasilnya, saya terima. Kalau saya tidak melakukan hal negatif kenapa mesti takut. Orang bisa gagal, bisa berhasil. Yang terpenting bagi saya adalah berusaha dan jalan tetap lurus.
Fokus saya adalah bagaimana membangun prestasi, kerja sama, koordinasi, mengayomi pemain, memberikan semangat, dan menyusun program. Saya tidak berpikir ke sana [nama besar], karena saya selalu berpikir positif.
Saat masih jadi atlet pun saat itu saya tidak tahu ke depannya seperti apa. Yang terpenting adalah mencoba tetapi dengan kesungguhan. Bagi saya kalau kita mau kerja keras, kita pasti dapat hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Saya percaya sesuatu hal yang baik akan menghasilkan yang baik. Begitu juga sebaliknya. Saya percaya jalan Tuhan.
4. Kevin/Marcus jadi atlet paling melejit di kepengurusan ini. Bagaimana komentar Anda?
Setiap pemain masing-masing ada masanya. Saya melihat permainan, lalu dari kematangan mereka, mereka memang pantas mendapatkan itu. Bila melihat latihan keseharian mereka, mereka memang punya karakter juara. Juara itu tidak hanya lahir karena bakat, tetapi juga karena ada kemauan.
Jadi ketika latihan saja mereka sudah seperti saat pertandingan. Bagaimana bila mereka bertanding dalam pertandingan sesungguhnya? Nah, itu sudah kelihatan dari karakter dan keseharian. Apapun yang dikasih pelatih, mereka benar-benar serius. Latihan bukan sekadar latihan.
Bila mereka merasa kurang, pasti minta tambah porsi latihan ke pelatih. Melihat kesadaran, kemauan, dan perjuangan mereka, saya tahu mereka bisa juara.

5. Lalu mengapa Kevin/Marcus masih gagal jadi juara dunia meski banyak meraih gelar di tiap tahun?
Mereka masih agak mentok di Kejuaraan Dunia. Tidak bisa melewati babak awal. Saya melihat hal itu lebih ke non-teknis. Jadi mereka seperti ada trauma di Kejuaraan Dunia. Mereka selalu kalah di babak awal. Nah, saya berharap mereka bisa mengubah mindsetmereka.
Menurut saya karena mereka pernah kalah di babak awal waktu Kejuaraan Dunia, mereka bertanya-tanya apakah bisa melewati babak awal di Kejuaraan Dunia berikutnya.
Kepercayaan diri mereka di kejuaraan dunia justru agak goyah karena trauma. Itu yang harus dibuang karena secara kemampuan mereka bisa. Karena kendala di faktor non-teknis, mereka harus bisa memulai dari nol lagi, jangan mengingat yang lalu.
Jangan sampai sugesti, "Aduh kejuaraan dunia..." karena itu yang bakal terjadi. Itu yang harus dibuang, harus berpikir positif.
6. Apakah Indonesia sukses di Asian Games 2018?
Pastinya sukses menurut saya. Untuk waktu itu bisa dibilang kami mengembalikan kepercayaan dan popularitas badminton ke masyarakat. Itu bukan kesuksesan saya, tetapi itu juga sukses untuk bulutangkis keseluruhan.
Sebelumnya kurang banyak yang menonton badminton karena prestasi tahun-tahun sebelum-sebelumnya kurang baik. Mungkin setelah era saya, era Taufik Hidayat jadi era terakhir ramai penonton.
Setelah itu agak turun prestasinya, waktu Owi/Butet juara Olimpiade, euforia sudah mulai tetapi hanya begitu-begitu saja.
Di kepengurusan Pak Wiranto, puncaknya di Asian Games. Sukses penyelenggaraan apalagi sukses prestasi. Khususnya di bulutangkis sampai tiketnya susah minta ampun. Pemain saja susah dapat tiket untuk keluarga. Kesuksesan untuk semua, kesuksesan untuk popularitas badminton dan untuk Indonesia.
Indonesia juara, Indonesia sukses, saya tak merasa itu hanya sukses saya. Sukses itu adalah kerja tim, kerja atlet. Saya hanya mendampingi, mengayomi, membantu, memberi semangat.
Itu adalah kesuksesan Indonesia, karena saya kerja di sini untuk Indonesia.

7. Bagaimana tanggapan Anda waktu Ahsan/Hendra tak terpilih main di nomor ganda putra Asian Games meski berstatus sebagai juara bertahan?
Saya percaya dengan pelatih. Kalau saya sudah memilih pelatih, berarti saya percaya dan tinggal melihat hasilnya. Dan ternyata kepercayaan saya tidak sia-sia. Komunikasi kami selalu baik, kami terus diskusi. Kalau alasannya masuk akal tak mungkin saya menolak karena kami juga melihat dari keseharian.
Tidak ada pemilihan pemain dengan pertimbangan yang aneh-aneh. Kami berpikirnya cuma satu, hanya demi Indonesia. Saya percaya pelatih. Pelatih memberikan kepercayaan pada atlet. Pelatih mengayomi pemain, saya mengayomi pelatih dan pemain.
Bagi saya pokoknya jangan mau kalah sampai titik darah penghabisan saat main di lapangan. Kalau hasil akhirnya kalah, saya yang tanggung jawab.
8. Bagaimana pertimbangan membiarkan Ahsan/Hendra tetap latihan di pelatnas meski sudah berstatus profesional di 2019?
Itu karena ada komunikasi. Kami tahu bahwa mereka panutan dan contoh bagi adik-adiknya. Dari prestasi dan karakter, saya salut dan senang dengan mereka.
Waktu itu Ahsan/Hendra memberi alasan kenapa mereka mau main profesional, jadi saya bisa terima. Karena ada beberapa hal yang membuat mereka harus bermain profesional. Kalau ikut liga badminton otomatis mereka tidak boleh berstatus pemain pelatnas karena sudah aturannya seperti itu.
Saya lalu berkata bahwa saya mengerti alasan mereka. Kalau memang tawaran bidding tinggi, ya sudah tidak apa-apa untuk berstatus pemain profesional.
Lalu saya bicarakan pada pimpinan karena selama ini dua pemain ini jadi panutan. Lalu saya berkata,"Bagaimana kalau kamu tetap latihan di sini saja?"
Mereka menjawab,"Wah dengan senang hati".
Kalau jadi pemain profesional, biasanya tentu semua harus mengurus sendiri, termasuk memilih pelatih sendiri.
Karena Ahsan/Hendra terbuka, jadi kami bisa cari solusi. Karena sikap mereka bagus selama ini, jadi diizinkan tetap latihan di Cipayung meski statusnya profesional, dengan syarat ikut aturan PBSI. Tetapi untuk keberangkatan biaya sendiri.
Bagi saya, kita semua sama, termasuk pemain yang profesional. Contoh misal kami ke All England, lalu ada Tommy Sugiarto, pasti kami ajak untuk ikut undangan atau acara dari kedutaan. Lalu kami berikan pendampingan pelatih. Kami meminta Tommy memilih pelatih yang nyaman dan ia percaya untuk mendampinginya dari pelatih yang dibawa oleh pelatnas.

9. Apa kunci keberhasilan Ahsan/Hendra di 2019? Apakah karena mereka tak lagi punya beban?
Karena mereka pemain senior. Di samping itu, semangat juang mereka. Mereka memang layak disebut panutan.
Saya selalu berbicara ke atlet lain,"Coba lihat Koh Hendra dan Kak Ahsan, mereka sudah juara tetapi mereka tetap disiplin. Mereka latihan tetap serius, secara etika mereka juga sopan."
Itu adalah juara sejati. Juara bukan hanya di lapangan tetapi di luar lapangan. Memang luar biasa.
Jonatan Terlena Euforia Asian Games 2018

10. Jonatan meroket setelah Asian Games namun perkembangan berikutnya masih kurang stabil. Bagaimana dengan itu?
Memang jadi juara itu tidak gampang, mempertahankan itu lebih susah daripada merebut. Mempertahankan itu lebih banyak godaannya, karena dia jadi terkenal.
Karena banyak tawaran di luar badminton otomatis bakal mengganggu fokus dan konsentrasi Jojo. Saya minta pada Jojo untuk lebih membagi waktu, jangan puas dengan prestasi saat itu. Belakangan dia juga sudah mulai mengurangi aktivitasnya di luar lapangan badminton.
Hal itu tidak salah, karena namanya anak muda, namanya euforia. Setelah Asian Games, Jonatan bukan lagi sekadar sebagai juara, tetapi sudah menjadi selebriti.
Jadi ada tawaran iklan dari kiri dan kanan, lebih gampang dapat duitnya dibanding capek-capek jadi juara. Namun itu sudah disadari oleh Jonatan.
Kami sudah panggil orang tua dan pelatih untuk bantu menjaga Jojo. Komunikasi, koordinasi, dan pembimbingan tiap atlet diperlukan. Atlet yang sudah juara pun harus dijaga agar tetap berprestasi.

11. Bagaimana dengan Anthony Ginting?
Ginting punya prospek yang bagus, begitu juga dengan Jonatan. Ginting harus konsisten dengan permainan. Seringkali Ginting bila permainannya sudah terbaca, dia bingung. Terkadang ketika dia menyerang dan tidak bisa poin karena pemain lawan ulet, akhirnya dia malah kalah.
Ginting harus belajar untuk menerapkan strategi pertama dan kedua, begitu juga mempersiapkan strategi yang ketiga. Contoh, dia pemain menyerang tetapi pertahanan juga harus bagus.
Teknik dan fisik Ginting juga harus ditingkatkan karena permainan Ginting termasuk tipe yang boros tenaga.
Soal semangat dan perjuangan di lapangan, saya salut sama Ginting, termasuk saat di Asian Games. Sampai tak bisa jalan pun dia bakal memaksa main. Dia melakukannya selalu sampai titik akhir.
Namun untuk tipe main, menurut saya dia belum matang. Dalam menyerang, tidak hanya sekadar smes, smes, dan smes, melainkan juga harus ada variasi misal lob serang.
Untuk bisa jadi pemain matang, prosesnya bisa lama atau cepat. Misal Joko Suprianto, dia pemain bagus tetapi awalnya prestasinya begitu-begitu saja. Baru umur 29 tahun dia sering juara.
Ginting masuk kategori pemain bagus tetapi belum bisa konsisten dengan permainan yang dia punya.
Tipe pemain seperti Lin Dan, Lee Chong Wei, dan Taufik Hidayat, mereka adalah tipe pemain yang sudah mengerti lawan-lawan yang memang merepotkan mereka. Di luar itu, mereka sudah bisa tahu bakal memenangkan pertandingan.
Sedangkan kalau pemain yang masih belum konsisten, saat mereka bagus, ya main bagus. Tetapi pas main jelek, lawan pemain yang belum punya nama pun bisa kalah.

12. Andai tak ada corona, bagaimana peluang Indonesia di Piala Thomas dan Olimpiade tahun ini?
Indonesia sedang dalam performa terbaik. Untuk Piala Thomas, kita punya peluang besar karena punya tiga ganda terbaik yang menghuni lima besar. Secara hitung-hitungan kasar, dua ganda bisa menyumbang poin, siapapun yang dipasang. Dengan begitu tinggal mengambil satu poin dari tunggal.
Kita punya dua tunggal yang walaupun belum konsisten, paling tidak bisa mencuri satu angka. Tunggal ketiga kita juga tak jelek-jelek amat.
Sedangkan untuk Olimpiade, momen kami juga sedang cukup bagus. Ganda putra sedang dalam kondisi terkuat, ganda campuran juga lumayan karena juara All England.
Ganda putri lumayan berpeluang meski hanya satu yang masuk, tunggal putra punya dua wakil yang juga lumayan. Kita punya kesempatan, minimal tradisi emas bisa tercapai.

13. Sebagai pemain tunggal putri, apakah punya ikatan emosional yang lebih dengan tunggal putri dibanding nomor lainnya saat jadi Kabid Binpres?
Betul, pasti ada greget juga. Kayak mau bilang,"Aduh kamu gimana sih?"
Tetapi kembali lagi, juara itu bukan hanya karena bakat, tetapi juga kemauan dan kerja keras. Itu yang sering saya gemas melihat tunggal putri. Jorji [Gregoria Mariska] punya bakat, tetapi sebentar-sebentar sakit, sebentar-sebentar sakit. Padahal saya sudah bilang "Ji ayo jaga kondisi, jangan sampai sakit."
Sulit bila saat sudah mulai bagus, sakit lagi.
Fitri, kalau dilihat memang posturnya, untuk bisa sampai ke papan atas agak berat. Namun untuk mendampingi Jorji masih lumayan karena di bawahnya belum ada lagi.
Fitri punya semangat yang bagus, tetapi mainnya kurang strategi.
Sekarang muncul Putri KW. Semoga dia tidak puas dengan hasil di simulasi kemarin. Dia harus meningkatkan teknik.
14. Apakah Anda hafal semua pemain pelatnas?
Harus hafal, karena saya tiap hari turun ke lapangan. Kalau yang baru pasti langsung saya lihat dan tanya,"Ini siapa?"
15. Kepengurusan bakal berakhir sementara Olimpiade mundur tahun depan. Bagaimana melihat hal itu?
Kontrak kepengurusan cuma empat tahun jadi kami menunggu kepengurusan yang baru. Saya tak bisa komentar karena setelah Munas bakal ada kepengurusan baru.
Saya profesional saja, posisi saya diminta jadi Kabid Binpres di Kepengurusan Pak Wiranto, jadi semua nanti diserahkan ke kepengurusan baru yang terpilih. Nanti kepengurusan baru yang memutuskan.

16. Keberhasilan terbesar di era Susy Susanti sebagai Kabid Binpres PBSI?
Menurut versi saya, yang paling saya senang adalah saya bisa mengembalikan badminton kembali fenomenal lagi. Atlet jadi selebriti, setelah sebelumnya tidak terlalu dianggap. Kalau sekarang bisa dianggap tentu juga karena prestasinya. Saya bisa naikin prestasi, bisa mengangkat pemain muda.
Kami juga menciptakan sejarah menjadi juara Piala Suhandinata. Jadi cukup bangga, bukan hanya saat jadi pemain, sebagai Kabid Binpres pun saya bisa berprestasi.
Namun itu semua tergantung, bila masyarakat menganggap saya tak berprestasi, silakan. Saya tak terlalu pusing, pokoknya saya kerja dan orang lain menilai.
Hasilnya bisa dilihat tahun 2017 meraih 37 gelar, 43 gelar di 2018, dan 53 di 2019. Lalu 2020, karena pandemi kita cuma sampai di All England tetapi berhasil juara begitu juga di Indonesia Masters.
17. Kegagalan terbesar di era Susy Susanti sebagai Kabid Binpres PBSI?
Kebanyakan tercapai, namun tentu saya melihat realita. Contohnya Piala Sudirman, tentu tidak mungkin saya pasang target juara karena saat itu hanya mengandalkan ganda putra.
Terus kalau ada omongan, "Wah pesimistis enggak pasang target juara."
Saya ini kan mantan pemain bagaimana ngomong mau juara kalau hanya mengandalkan satu nomor, nanti kalau saya pasang target juara, dibilangnya,"Goblok banget nih pernah main badminton kagak?" hahaha..
Ada lima poin yang diperebutkan dan butuh minimal tiga poin. Saya ini selalu realistis, tidak asal bunyi.

18. Apakah masih ingin jadi Binpres atau sudah lelah dan ingin kembali santai di luar organisasi?
Kita lihat saja nanti karena Kabid Binpres tidak hanya ngurus pemain, namun semuanya. Lihat visi misi dari kepengurusan baru. Hal ini [posisi Kabid Binpres PBSI] tentu harus ditanyakan ke kepengurusan mendatang karena saya sifatnya profesional.
Kabid Binpres itu banyak tugas, harus paham organisasi, mengatur program atlet, mengurus target, komunikasi dengan pemerintah, komunikasi dengan BWF.