Sifat Keras Kepala Arsene Wenger Menghancurkan Status Legendanya sendiri di Arsenal
7 min read

via Sumber Pos March 05, 2018 at 09:30PM
Sifat Keras Kepala Arsene Wenger Menghancurkan Status Legendanya sendiri di Arsenal
Arsene Wenger sebetulnya memiliki kesempatan untuk turun dari panggung dengan kepala tegak dan kehormatan yang terjaga, bahkan meski satu dekade lebih tak membawa Arsenal menjuarai liga.
Momen itu terjadi di Wembley, sembilan bulan yang lalu. Pada 27 Mei 2017, ia bisa saja berkata, dengan wajah penuh kegembiraan dan kebanggaan setelah anak-anak asuhnya mengalahkan Chelsea 2-1 di final Piala FA 2017, bahwa ini adalah persembahan terakhir yang bisa ia berikan untuk klub yang telah ia bela selama lebih dari dua dekade terakhir.
Bahwa sudah saatnya ia memberikan klub kesempatan untuk memasuki era baru, dengan ide-ide baru yang tidak bisa ia berikan lagi saat ini. Bahwa waktunya sudah selesai – meski mungkin agak terlambat daripada yang diekspektasikan para ‘haters’-nya.

Terlambat, tapi momennya tepat. Itu adalah momen terbaiknya untuk mundur, dan bukannya dengan keras kepala merasa masih mampu mengangkat Arsenal lebih tinggi lagi dalam dua tahun setelahnya. Sekarang, Wenger harus menghadapi kenyataan yang layaknya mimpi buruk: tak sampai setahun setelah memutuskan untuk melanjutkan masa baktinya, ia menghadapi situasi yang bahkan jauh lebih buruk daripada yang sudah ia lewati sebelum-sebelumnya.
Hasil-hasil buruk datang, para pemainnya tak mendengarkan kata-katanya, dan para pendukung kembali menyerangnya. Setahun yang lalu, hal yang hampir sama terjadi, meski tak seburuk ini. Jika pada saat itu ia bisa memberikan jawaban dengan memberikan gelar juara Piala FA, apa yang bisa ia berikan saat ini?
Di Piala FA, gelar yang mereka menangkan tiga kali dalam lima tahun terakhir, mereka tereliminasi langsung di putaran ketiga. Di Piala Liga, mereka kalah di final dari Manchester City secara memalukan. Di Premier League, mereka terancam gagal lagi lolos ke Liga Champions dan malam tadi (4/3/2018) baru saja kalah 2-1 dari Brighton & Hove Albion. Di Europa League, satu-satunya harapan mereka yang tersisa untuk merebut trofi musim ini, mereka harus menghadapi Milan yang sedang on fire di babak 16 besar, padahal sebelumnya mereka sendiri bisa-bisanya kalah dari klub antah berantah, Ostersund, di kandang sendiri.

Tak hanya dari hasil akhir, secara permainan pun, Arsenal begitu menyedihkan. Kaki-kaki para pemainnya seperti begitu berat untuk berlari, dan mental mereka begitu rapuh dan sangat mudah rubuh hanya karena satu gol dari lawan. Mendapatkan tambahan kualitas dari Henrikh Mkhitaryan dan Pierre-Emerick Aubameyang pada bulan Januari lalu ternyata tak membuat mereka lebih baik – yang ada, segalanya bahkan malah terlihat semakin buruk.
Tak sedikit yang mengatakan bahwa ini adalah tim Arsenal terburuk yang pernah mereka lihat. Padahal mereka memiliki Mkhitaryan, Aubameyang, Alexandre Lacazette, Mesut Ozil, Aaron Ramsey, hingga Petr Cech. Bagaimana mereka bisa semenyedihkan ini?
Keras kepalanya Wenger untuk fokus pada penyerangan dan abai sepenuhnya terhadap lini pertahanan mungkin bisa dijadikan alasan atas betapa buruknya Arsenal saat ini. Tapi bukankah itu adalah masalah yang sudah mereka hadapi selama bertahun-tahun? Lalu kenapa sekarang berbeda?
Perbedaan terbesarnya, mungkin, adalah saat ini, para pemainnya sendiri memang sudah tidak mempercayai Wenger. Mungkin, pada akhirnya apa yang dikatakan orang-orang dan media akhirnya diyakini juga oleh para pemainnya – bahwa Wenger sudah gagal, dan bahwa ia, dan para asistennya, tak bisa membantu mereka. Dan itulah yang terungkap dalam artikel David Hytner di The Guardian baru-baru ini, di mana ia menggambarkan bagaimana pertemuan internal pemain (tanpa staf pelatih), berlangsung di ruang ganti mereka.

“Kita adalah klub yang besar, tetapi kita membutuhkan bantuan yang lebih besar dari para pelatih,” kata salah satu pemain. Pemain lainnya kemudian menjawab, “Itu tidak akan terjadi. Kita harus mencari jawabannya sendiri.”
Pertemuan itu terjadi pada hari Selasa lalu, setelah mereka kalah 3-0 dari Manchester City di final Piala Liga. Setelah itu, mereka kalah 3-0 lagi dari tim yang sama di Premier League, sebelum kalah lagi 2-1 dari Brighton. Jelas, mereka belum menemukan jawaban yang mereka mau.
Lalu, jika mereka tak bisa menemukan jawaban itu, dan pelatih-pelatih mereka tak bisa memberikan jawaban itu, siapa yang bisa? Dan jika jawaban itu tak juga bisa ditemukan, mau sampai kapan Arsenal terus meluncur menuju kondisi hina yang tak ada ujungnya ini?

Dan ketika Arsene Wenger masih dengan berani mengatakan, “Apakah saya masih orang yang tepat (untuk memimpin Arsenal)? Ya, karena saya sudah melewatinya sebelumnya,” apa yang bisa dilakukan manajemen Arsenal untuk menghentikan kondisi buruk ini kecuali memberikan surat pemecatan kepada manajer yang pernah (dan seharusnya masih) dianggap sebagai yang terbaik di sepanjang sejarah klub itu?
BACA JUGA

Jika hal itu benar-benar terjadi – meski mungkin peluangnya cukup kecil mengingat betapa ‘lemah’-nya manajemen Arsenal selama ini – rasanya akan sangat menyedihkan. Bagaimanapun, Arsene Wenger adalah orang baik. Orang tua baik yang sudah membantu mengubah wajah Arsenal dan Premier League sejak awal kedatangannya. Lelaki yang lebih sering berbicara santun daripada berbicara dengan nada sombong dan wajah yang terlihat malas, a nice guy yang seharusnya disukai semua orang. Sangat disayangkan jika orang baik sepertinya harus melewati hal-hal buruk seperti itu.
Tapi apa boleh buat? Wenger sudah melewatkan peluang terbaiknya untuk mundur terhormat, sembilan bulan yang lalu. Kini, ia hanya bisa menyesalinya, dan menghadapi kemungkinan untuk diingat sebagai orang tua keras kepala yang gagal bertahun-tahun alih-alih sebagai legenda besar yang mengangkat derajat Arsenal dan merevolusi Premier League.
Segalanya mungkin berbeda jika ia berkata, pada 27 Mei 2017 lalu, dengan wajah penuh kegembiraan dan kebanggaan, bahwa waktunya telah selesai.